I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Serologi adalah ilmu yang
mempelajari prosedur-prosedur diagnostik dan eksperimental yang berhubungan
dengan imunologi dan menyangkut reaksi-reaksi serum. Tes-tes serologi ini
digunakan untuk identifikasi mikroorganisme-mikroorganisme, dan menunjukan
antibodi didalam serum dari hospes pada penyakit-penyakit tertentu dimana
penyebab penyakit tidak dapat diisolasi, penemuan spesifik antibodi adalah
penting sekali untuk membantu diagnosa. Salah satu teknik serologi yang
bersifat lebih sensitif dibandingkan dua metode serologi yang diuraikan
terlebih dahulu. Enzyme linked immunisorbent assay, disingkat ELISA
telah banyak mengalami peubahan sejak pertama kali teknik ini dipublikasikan
ciri utama teknik ini adalah dipakai indikator enzim untuk reaksi imunologi.
ELISA telah berkembang sampai pada tingkatan yang sangat sulit untuk membuat
generasi tentang kemampuan kinerja berbagai konfigrasi. Konfigurasi yang paling
umum mengunakan substrat padat (Baron et al., 1994).
David (1990) menyatakan bahwa sel-sel dalam suspensi seperti bakteri atau sel-sel darah merah biasanya mengaglutinasi ketika dicampur dengan antiserumnya. Aglutinasi menyediakan metode yang berurutan untuk mengidentifikasi variasi bakteri, jamur, dan tipe sel darah merah. Menurut Pelczar and Chan (2005). Antigen merupakan suatu substansi yang bila memasuki inang vertebrata menimbulkan respon kekebalan yang membawa kepada terbentuknya kekebalan padatan. Respon ini mengakibatkan pembe ntukan antibodi spesifik yang beredar dalam aliran darah (imunitas humoral) atau merangsang peningkatan jumlah sel-sel reaksi khusus yang disebut limfosit.
Staf
Pengajar FKUI (1994) menyatakan bahwa molekul antigen yang mungkin terdapat
beberapa tempat di permukaannya yang dapat bereaksi secara khas dengan
antibodi, tempat ini disebut determinan antigen. Bahan yang mempunyai berat
molekul rendah sehingga tidak dapat bersifat antigen, dan hanya dapat
menimbulkan produksi antibodi bila bahan ini bergabung dengan protein lain,
kemudian dapat bereaksi secara khas dengan antibodi itu disebut hapten.
Berdasarkan pendapat dari Flynn (1966) definisi yang lebih tinggi dari
pengertian antigen muncul melalui penemuan bahwa bakteri pasti memproses
flagella, sehingga dua antigen dapat dibedakan yaitu antigen flagella dan
antigen somatic atau antigen dinding bakteri.
Jawets (1966) mengemukakan bahwa antibodi merupakan protein yang
diproduksi sebagai akibat pemberian suatu antigen dan mempunyai kemampuan untuk
bergabung dengan antigen yang merangsang produksinya. Antigen yaitu suatu zat yang
dapat dideteksi bila dimasukkan ke dalam tubuh hewan serta dapat menginduksi
respon imun. Berdasarkan pendapat dari Pelczar and Chan (2005) Uji Widal
dirancang secara khusus untuk membantu diagnosis demam typhoid dengan cara
mengaglutinasikan basilus typhoid dengan serum penderita. Namun, istilah ini
kadang-kadang diterapkan secara tidak resmi pada uji aglutinasi lain yang
menggunakan biakan organisme yang dimatikan dengan panas selain Salmonella
thypii.
B. Tujuan
Mendeteksi bakteri penyebab pathogen
Salmonella thypii dengan uji serologi (uji widal).
II. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat yang
digunakan pada praktikum uji serologi yaitu objek glass, mikropipet ukuran 10
µl, dan tip steril.
Bahan yang
digunakan pada uji serologi adalah reagen widal (Antigen Salmonella thypii H) dan serum (antibodi S.thypii dari pasien).
B. Metode
Serum
|
Pengenceran 1 : 80
o Diambil 20 μL dengan mikro pipet dua kali
o Ditambah 1 tetes (40 μL) reagen S. typhii H
o
Perhitungan titer antibodi
|
Diamati, jika terjadi aglutinasi dihitung titer antibodinya
o Jika hasilnya positif dianjutkan
pada tahap
Pengenceran 1 : 160
Serum
|
Pengenceran
1 : 160
o Diambil 10 μL dengan mikro pipet
o Ditambah 1 tetes (40 μL) reagen S. typhii H
o Diamati, jika terjadi aglutinasi dihitung titer antibodinya
Perhitungan titer antibodi
|
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1.
Pengenceran
1 : 80
Pada pengenceran 1 : 80 terjadi aglutinasi yang
ditandai dengan adanya gumpalan hitam seperti pasir pada serum.
2.
Pengenceran
1 : 160
Pada pengenceran 1 : 160 tidak terjadi aglutinasi yang
ditandai dengan tidak adanya gumpalan hitam seperti pasir pada serum.
B. Pembahasan
Salmonella adalah
suatu genus bakteri enterobakteria
gram-negatif berbentuk batang. Morfologi
Salmonella typhosa berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi
mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada pewarnaan gram bersifat gram negatif,
ukuran 2-4 mikrometer x 0.5 - 0.8 mikrometer dan bergerak, pada biakan agar
darah, koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 millimeter, bulat, agak
cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis. Tumbuh pada suasana
aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15 - 41oC (suhu pertumbuhan
optimum 37 oC) dan pH pertumbuhan 6 - 8. Salmonella sp.
yang hanya menginfeksi manusia, di antaranya
S. typhii, S. paratyphi A,
S. paratyphi C. Kelompok ini termasuk agen yang menyebabkan demam
tifoid dan paratifoid, yang menjadi penyebab sebagian besar serangan
salmonella. Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang menjadi masalah
kesehatan dunia. Demam tifoid terjadi baik di neg ara tropis maupun negara
subtropis, terlebih pada negara berkembang. Besarnya angka kejadian demam
tifoid sulit ditentukan karena mempunyai gejala dengan spectrum klinis yang
luas. Insidensi demam tifoid berbeda pada tiap daerah. Demam tifoid lebih
sering menyerang anak usia 5-15 tahun. Menurut laporan WHO (2003), insidensi
demam tifoid pada anak umur 5-15 tahun
di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus pertahun dan dengan prevalensi
mencapai 61,4/1000 kasus pertahun. Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri
Salmonella enterica, terutama
serotype Salmonella thypii (S.
typhii). Bakteri ini termasuk kuman Gram negatif yang memiliki flagel,
tidak berspora, motil, berbentuk batang,berkapsul dan bersifat fakultatif
anaerob dengan karakteristik antigen O, H dan Vi. Demam merupakan keluhan dan
gejala klinis yang timbul pada semua penderita demam tifoid ini. Namun, pada
anak manifestasi klinis demam tifoid tidak khas dan sangat bervariasi sesuai
dengan patogenesis demam tifoid. Untuk menentukan diagnosis pasti dari penyakit
ini diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
digunakan adalah pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan bakteriologis dengan
isolasi dan biakan kuman, uji serologis, dan pemeriksaan kuman secara molekuler.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa Demam typhoid memiliki masa inkubasi
yang paling panjang, menghasilkan suhu badan yang tertinggi, dan memiliki angka
mortalitas yang tertinggi. S. typhii dapat di isolasi dari darah dan kadang-kadang
feses dan urin penderita yang menderita demam
enterik. Sindrom paratyphoid lebih lemah dibanding typhoid
(Karsinah,1994).
Diagnosis demam tifoid sering
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis dan tes serologis saja. Uji Widal
merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih digunakan secara
luas, khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Widal adalah uji diagnosis serologi untuk demam enterik yang ditemukan
pada tahun 1896 oleh Georges Fernand Isidore Widal. Reaksi aglutinasi ini menunjukkan
adanya lipopolisakarida (LPS), somatik (O) dan flagella (H) dari Salmonella
thypii dalam serum dari pasien yang menggunakan suspensi O dan H antigen.
Kit komersil yang tersedia adalah untuk antigen Salmonella thypii
para-A, B dan C. Salah satu kelemahan utama dari uji widal adalah reaktivitas
silang karena yang beberapa bakteri lain yang
memiliki genus sama sering menghasilkan hasil positif palsu, sehingga
hasil positif harus berkorelasi secara
klinis sebelum meresepkan obat. Jadi, tes widal adalah pilihan untuk demam
tifoid terutama di daerah pedesaan (Aziz dan Haque, 2012).
Uji Widal ada dua macam yaitu uji
Widal tabung yang membutuhkan waktu inkubasi semalam dan uji Widal peluncuran
yang hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja. Umumnya sekarang lebih
banyak digunakan uji Widal cara meluncurkan, karena merupakan uji serologis
yang cepat dan mudah dalam melaksanakannya. Sensitivitas dan terutama
spesifisitas tes ini amat dipengaruhi oleh jenis antigen yang digunakan.
Menurut beberapa peneliti uji Widal yang menggunakan antigen yang dibuat dari
jenis strain kuman asal daerah endemis (lokal) memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang secara bermakna lebih tinggi daripada bila dipakai antigen
yang berasal dari strain kuman asal luar daerah endemis (impor) (Baron et
al.,1994). Uji Widal sampai sekarang masih digunakan secara luas
terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Walaupun mempunyai banyak
keterbatasan dan penafsiran uji Widal, untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
harus hati-hati karena beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaannya. Yaitu antara lain keadaan gizi, saat pemeriksaan, pengobatan
antibiotica yang mendahuluinya, daerah endemis, status imunologis, vaksinasi,
penggunaan obat imunosupresif, reaksi silang serta teknik pemeriksaan (Pang et
al.,1997).
Kegunaan uji Widal untuk diagnosis
demam tifoid masih kontroversial di antara para ahli karena hasil yang
berbeda-beda. Uji Widal bernilai diagnosis yang tinggi untuk demam tifoid
(94,3%), asalkan dapat diketahui titer antibodi di orang normal dan penderita
demam nontifoid. Pang dan Puthucheary mengatakan bahwa uji Widal masih
merupakan pilihan cara yang praktis sehubungan kesulitan dalam memeriksa
bakteri di negara berkembang (Pang et al.,1997). Hampir semua ahli
sepakat bahwa kenaikan titer aglutinin 4 kali terutama aglutinin O atau
aglutinin H dalam jangka waktu 5–7 hari bernilai diagnostik amat penting untuk
demam tifoid. Sebaliknya peningkatan titer aglutinin yang tinggi pada satu kali
pemeriksaan Widal terutama aglutinin H tidak memiliki arti diagnostik yang
penting untuk demam tifoid. Namun demikian, masih dapat membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid di penderita dewasa yang berasal dari daerah nonendemik
atau anak umur kurang dari 10 tahun dari daerah endemik. Sebab di kelompok
penderita ini kemungkinan terkena S.typhi dalam dosis subterinfeksi masih amat
kecil. Di orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di
daerah endemik kemungkinan untuk menelan S. typhi dalam dosis subterinfeksi
lebih besar, sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang
berbeda-beda antar daerah endemik yang satu dengan yang lainnya. Bergantung
dari derajat endemisnya dan juga perbedaan keadaan antara anak di bawah umur 10
tahun dan orang dewasa. Uji Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis
demam tifoid, ambang atas titer rujukannya baik anak maupun orang dewasa perlu
ditentukan. Besar titer antibodi yang bermakna untuk diagnosis demam tifoid di
lndonesia belum terdapat kesesuaian. Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan
bahwa kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam tifoid bergantung prosedur yang
digunakan di masing-masing rumah sakit atau laboratorium. Uji Widal dianggap positif bila titer antibodi
1/160, baik untuk aglutinin O maupun H dengan kriteria diagnostik tunggal atau
gabungan. Bila dipakai kriteria tunggal maka aglutinin O lebih bernilai
diagnostik daripada aglutinin H (Handojo, I, 1982).
Antibodi (immunoglobulin) adalah
sekelompok lipoprotein dalam serum darah dan cairan jaringan pada mamalia.
Antibodi memiliki lebih dari satu tempat pengkombinasian antigen. Kebanyakan
antibodi makhluk hidup mempunyai 2 tempat pengkombinasian yang disebut bivalen.
Beberapa antibodi bivalen dapat membenuk beraneka antibodi yang mempunyai lebih
dari 10 tempat pengkombinasian antigen (Volk Wheeler, 1984).
Antigen adalah bahan yang asing
untuk badan, terdapat dalam manusia atau organisme multiseluler lain yang dapat
menimbulkan pembentukan antibodi terhadapnya dan dengan antibodi itu antigen
dapat bereaksi dengan khas. Sifat antigenik dapat ditentukan oleh berat
molekulnya. Salmonella dan jenis-jenis lainnya dalam family Enterobacteriaceae
mempunyai beberapa jenis antigen, yaitu antigen O (somatik), H (Flagella), K
(Kapsul) dan Vi (Virulen) (Volk Wheeler, 1984).
1.
Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan
luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini
tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer
(Baron et al.,1994).
2.
Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela,
fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai
antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen
ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol
atau asam (Baron et al.,1994).
3.
Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi
(kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur kimia
glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan
pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier
(Baron et al.,1994).
4.
Outer
Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang
terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi
sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein
porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas
protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi
untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis
dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A,
protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi
fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan
antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa
(Baron et al.,1994).
Antigen di dalam reaksi aglutinasi
dapat berupa sel atau partikel, misalnya partikel lateks yang permukaannya
telah diresapi antigen yang dapat larut, ditambahkannya antibodi yang homolog
akan menyebabkan terjadinya aglutinasi atau penggumpalan, sehingga menghasilkan
agregat kasat mata sel-sel itu, reaksi aglutinasi juga digunakan di dalam
penggolongan dan penentuan tipe darah manusia (Pelczar and Chan. 2005).
Reaksi
widal adalah reaksi serum (sero-test) untuk mengetahui ada tidaknya antibodi
terhadap Salmonella thypii dengan jalan mereaksikan serum seseorang
dengan antigen O, H, dan Vi dari laboratorium. Bila terjadi aglutinasi, maka
reaksi widal positif, berarti serum orang tersebut mempunyai antibodi terhadap Salmonella
thypii, baik setelah vaksinasi, setelah sembuh dari penyakit tipus ataupun
sedang menderita tipus. Reaksi widal negatif artinya tidak memiliki antibodi
terhadap Salmonella thypii (tidak terjadi aglutinasi). Berdasarkan hasil
pengamatan pada pengenceran 1 : 160 tidak terjadi aglutinasi berarti penderita
tidak memiliki antibodi terhadap Salmonella thypii (hasilnya negatif).
Jika hasilnya positif terjadi adanya endapan pasir, sedangkan jika hasilnya
negatif maka tetap jernih. Adanya aglutinasi menandakan bahwa penderita positif
terinfeksi Salmonella thypii yang dapat dilihat Pada serum 20 μl, titer
Ab + 1/80 = infeksi ringan (Volk and Wheeler, 1984).
IV. KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Uji Widal
dirancang secara khusus untuk membantu diagnosis demam typhoid dengan cara
mengaglutinasikan basilus typhoid dengan serum penderita. Berdasarkan hasil tes
widal pada titer 1 : 80 menujukkan terjadinya aglutinasi, ini menunjukkan bahwa
penderita memiliki antibodi terhadap Salmonella thypii atau dengan kata lain mengalami
infeksi ringan demam typhoid.
B. Saran
Praktikan disarankan untuk menggunakan
sarung tangan dan masker pada saat praktikum berlangsung yang bertujuan untuk
menghindari infeksi dari bakteri Salmonella thypii. Praktikan harus selalu mebiasakan hidup bersih dan sehat agar
terhidar dari infeksi bakteri.
DAFTAR REFERENSI
Aziz, Tarique dan S. S. Haque. 2012. Role of
Widal Test in the Diagnosis of Typhoid Fever in Context to Other Test.
American Journal of Biochemistry 2012, 2 (1): 16-18
Baron, E.J., Peterson, L.R.,
FinegoId, S.M., 1994, Enterobactericeae. In: Bailey and Scott’s Diagnostic
Microbiology. 9th ed. Edsitors: Carson, D.C., et al. The CV Mosby Co. London
David, B.D. Renato. 1990.
Microbiology 4th. London : Tippicoll Company.
Flynn, John E. 1966. The New
Microbiology. USA : Mc Graw Hill.
Handojo, I., 1982, Kuliah serologi
klinik FK Unair Laboratorium Patologi
Kiinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Jawetz, 1966. Microbiologi
Kedokteran. Jakarta : Buku Kedokteran.
Karsinah, 1994, Batang negatif
gram. Dalam:Staf Pengajar FK UI, penyunting. Buku ajar mikrobiologi
kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta:Bina Rupa Aksara,
Pang, T., Levine, M.M., Ivanoff, B.,
1997, In The Third Asia Pacific Symposium on typhoid fever and other
Salmonellosis. Bali, Indonesia
Pelczar and Chan. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2.
Jakarta: UI Press.
Staf Pengajar FKUI. 1994.
Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Volk, W. A, and Wheeler, M. F. 1984. Mikrobiologi
Dasar. Jakarta: Erlangga.
Zmijewski, C. M and Bellanti, J. A. 1993. Imunologi
3. Yogyakarta: UGM Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah kasih ya atas kunjungan Anda dan atas segala saran dan komentar.