Sabtu, 06 September 2014

uji serologi



I.         PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Serologi adalah ilmu yang mempelajari prosedur-prosedur diagnostik dan eksperimental yang berhubungan dengan imunologi dan menyangkut reaksi-reaksi serum. Tes-tes serologi ini digunakan untuk identifikasi mikroorganisme-mikroorganisme, dan menunjukan antibodi didalam serum dari hospes pada penyakit-penyakit tertentu dimana penyebab penyakit tidak dapat diisolasi, penemuan spesifik antibodi adalah penting sekali untuk membantu diagnosa. Salah satu teknik serologi yang bersifat lebih sensitif dibandingkan dua metode serologi yang diuraikan terlebih dahulu. Enzyme linked immunisorbent assay, disingkat ELISA telah banyak mengalami peubahan sejak pertama kali teknik ini dipublikasikan ciri utama teknik ini adalah dipakai indikator enzim untuk reaksi imunologi. ELISA telah berkembang sampai pada tingkatan yang sangat sulit untuk membuat generasi tentang kemampuan kinerja berbagai konfigrasi. Konfigurasi yang paling umum mengunakan substrat padat (Baron et al., 1994).


David (1990) menyatakan bahwa sel-sel dalam suspensi seperti bakteri atau sel-sel darah merah biasanya mengaglutinasi ketika dicampur dengan antiserumnya. Aglutinasi menyediakan metode yang berurutan untuk mengidentifikasi variasi bakteri, jamur, dan tipe sel darah merah. Menurut Pelczar and Chan (2005). Antigen merupakan suatu substansi yang bila memasuki inang vertebrata menimbulkan respon kekebalan yang membawa kepada terbentuknya kekebalan padatan. Respon ini mengakibatkan pembe ntukan antibodi spesifik yang beredar dalam aliran darah (imunitas humoral) atau merangsang peningkatan jumlah sel-sel reaksi khusus yang disebut limfosit.
            Staf Pengajar FKUI (1994) menyatakan bahwa molekul antigen yang mungkin terdapat beberapa tempat di permukaannya yang dapat bereaksi secara khas dengan antibodi, tempat ini disebut determinan antigen. Bahan yang mempunyai berat molekul rendah sehingga tidak dapat bersifat antigen, dan hanya dapat menimbulkan produksi antibodi bila bahan ini bergabung dengan protein lain, kemudian dapat bereaksi secara khas dengan antibodi itu disebut hapten. Berdasarkan pendapat dari Flynn (1966) definisi yang lebih tinggi dari pengertian antigen muncul melalui penemuan bahwa bakteri pasti memproses flagella, sehingga dua antigen dapat dibedakan yaitu antigen flagella dan antigen somatic atau antigen dinding bakteri.
            Jawets (1966) mengemukakan bahwa antibodi merupakan protein yang diproduksi sebagai akibat pemberian suatu antigen dan mempunyai kemampuan untuk bergabung dengan antigen yang merangsang produksinya. Antigen yaitu suatu zat yang dapat dideteksi bila dimasukkan ke dalam tubuh hewan serta dapat menginduksi respon imun. Berdasarkan pendapat dari Pelczar and Chan (2005) Uji Widal dirancang secara khusus untuk membantu diagnosis demam typhoid dengan cara mengaglutinasikan basilus typhoid dengan serum penderita. Namun, istilah ini kadang-kadang diterapkan secara tidak resmi pada uji aglutinasi lain yang menggunakan biakan organisme yang dimatikan dengan panas selain Salmonella thypii.
B. Tujuan
Mendeteksi bakteri penyebab pathogen Salmonella thypii dengan uji serologi (uji widal).




II.   MATERI DAN METODE
A.      Materi
Alat yang digunakan pada praktikum uji serologi yaitu objek glass, mikropipet ukuran 10 µl, dan tip steril.
Bahan yang digunakan pada uji serologi adalah reagen widal (Antigen Salmonella thypii H) dan serum (antibodi S.thypii dari pasien).

B.       Metode
Serum
Pengenceran 1 : 80
                                                                       
o  Diambil 20 μL dengan mikro pipet dua kali
o  Ditambah 1 tetes (40 μL) reagen S. typhii  H
o 
Perhitungan titer antibodi
Diamati, jika terjadi aglutinasi dihitung titer antibodinya
                                              
o  Jika hasilnya positif dianjutkan pada tahap
Pengenceran 1 : 160
Serum
Pengenceran 1 : 160
o  Diambil 10 μL dengan mikro pipet
o  Ditambah 1 tetes (40 μL) reagen S. typhii  H
o  Diamati, jika terjadi aglutinasi dihitung titer antibodinya
Perhitungan titer antibodi
 



III.  HASIL DAN PEMBAHASAN
A.      Hasil
1.        Pengenceran 1 : 80
Pada pengenceran 1 : 80 terjadi aglutinasi yang ditandai dengan adanya gumpalan hitam seperti pasir pada serum.
2.        Pengenceran 1 : 160
Pada pengenceran 1 : 160 tidak terjadi aglutinasi yang ditandai dengan tidak adanya gumpalan hitam seperti pasir pada serum.






B.       Pembahasan
Salmonella adalah suatu genus bakteri enterobakteria gram-negatif berbentuk batang. Morfologi Salmonella typhosa berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada pewarnaan gram bersifat gram negatif, ukuran 2-4 mikrometer x 0.5 - 0.8 mikrometer dan bergerak, pada biakan agar darah, koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 millimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis. Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15 - 41oC (suhu pertumbuhan optimum 37 oC) dan pH pertumbuhan 6 - 8. Salmonella sp. yang hanya menginfeksi manusia, di antaranya  S. typhii,  S. paratyphi A, S. paratyphi C. Kelompok ini termasuk agen yang menyebabkan demam tifoid dan paratifoid, yang menjadi penyebab sebagian besar serangan salmonella. Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang menjadi masalah kesehatan dunia. Demam tifoid terjadi baik di neg ara tropis maupun negara subtropis, terlebih pada negara berkembang. Besarnya angka kejadian demam tifoid sulit ditentukan karena mempunyai gejala dengan spectrum klinis yang luas. Insidensi demam tifoid berbeda pada tiap daerah. Demam tifoid lebih sering menyerang anak usia 5-15 tahun. Menurut laporan WHO (2003), insidensi demam  tifoid pada anak umur 5-15 tahun di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus pertahun dan dengan prevalensi mencapai 61,4/1000 kasus pertahun. Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica, terutama serotype Salmonella thypii (S. typhii). Bakteri ini termasuk kuman Gram negatif yang memiliki flagel, tidak berspora, motil, berbentuk batang,berkapsul dan bersifat fakultatif anaerob dengan karakteristik antigen O, H dan Vi. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis yang timbul pada semua penderita demam tifoid ini. Namun, pada anak manifestasi klinis demam tifoid tidak khas dan sangat bervariasi sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Untuk menentukan diagnosis pasti dari penyakit ini diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan adalah pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman, uji serologis, dan pemeriksaan kuman secara molekuler. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa Demam typhoid memiliki masa inkubasi yang paling panjang, menghasilkan suhu badan yang tertinggi, dan memiliki angka mortalitas yang tertinggi. S. typhii  dapat di isolasi dari darah dan kadang-kadang feses dan urin penderita yang menderita demam  enterik. Sindrom paratyphoid lebih lemah dibanding typhoid (Karsinah,1994).  
 Diagnosis demam tifoid sering ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis dan tes serologis saja. Uji Widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih digunakan secara luas, khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Widal adalah uji diagnosis serologi untuk demam enterik yang ditemukan pada tahun 1896 oleh Georges Fernand Isidore Widal. Reaksi aglutinasi ini menunjukkan adanya lipopolisakarida (LPS), somatik (O) dan flagella (H) dari Salmonella thypii dalam serum dari pasien yang menggunakan suspensi O dan H antigen. Kit komersil yang tersedia adalah untuk antigen Salmonella thypii para-A, B dan C. Salah satu kelemahan utama dari uji widal adalah reaktivitas silang karena yang beberapa bakteri lain yang  memiliki genus sama sering menghasilkan hasil positif palsu, sehingga hasil  positif harus berkorelasi secara klinis sebelum meresepkan obat. Jadi, tes widal adalah pilihan untuk demam tifoid terutama di daerah pedesaan (Aziz dan Haque, 2012).
Uji Widal ada dua macam yaitu uji Widal tabung yang membutuhkan waktu inkubasi semalam dan uji Widal peluncuran yang hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja. Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji Widal cara meluncurkan, karena merupakan uji serologis yang cepat dan mudah dalam melaksanakannya. Sensitivitas dan terutama spesifisitas tes ini amat dipengaruhi oleh jenis antigen yang digunakan. Menurut beberapa peneliti uji Widal yang menggunakan antigen yang dibuat dari jenis strain kuman asal daerah endemis (lokal) memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang secara bermakna lebih tinggi daripada bila dipakai antigen yang berasal dari strain kuman asal luar daerah endemis (impor) (Baron et al.,1994). Uji Widal sampai sekarang masih digunakan secara luas terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Walaupun mempunyai banyak keterbatasan dan penafsiran uji Widal, untuk menegakkan diagnosis demam tifoid harus hati-hati karena beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaannya. Yaitu antara lain keadaan gizi, saat pemeriksaan, pengobatan antibiotica yang mendahuluinya, daerah endemis, status imunologis, vaksinasi, penggunaan obat imunosupresif, reaksi silang serta teknik pemeriksaan (Pang et al.,1997).
Kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam tifoid masih kontroversial di antara para ahli karena hasil yang berbeda-beda. Uji Widal bernilai diagnosis yang tinggi untuk demam tifoid (94,3%), asalkan dapat diketahui titer antibodi di orang normal dan penderita demam nontifoid. Pang dan Puthucheary mengatakan bahwa uji Widal masih merupakan pilihan cara yang praktis sehubungan kesulitan dalam memeriksa bakteri di negara berkembang (Pang et al.,1997). Hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan titer aglutinin 4 kali terutama aglutinin O atau aglutinin H dalam jangka waktu 5–7 hari bernilai diagnostik amat penting untuk demam tifoid. Sebaliknya peningkatan titer aglutinin yang tinggi pada satu kali pemeriksaan Widal terutama aglutinin H tidak memiliki arti diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Namun demikian, masih dapat membantu menegakkan diagnosis demam tifoid di penderita dewasa yang berasal dari daerah nonendemik atau anak umur kurang dari 10 tahun dari daerah endemik. Sebab di kelompok penderita ini kemungkinan terkena S.typhi dalam dosis subterinfeksi masih amat kecil. Di orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di daerah endemik kemungkinan untuk menelan S. typhi dalam dosis subterinfeksi lebih besar, sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemik yang satu dengan yang lainnya. Bergantung dari derajat endemisnya dan juga perbedaan keadaan antara anak di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Uji Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, ambang atas titer rujukannya baik anak maupun orang dewasa perlu ditentukan. Besar titer antibodi yang bermakna untuk diagnosis demam tifoid di lndonesia belum terdapat kesesuaian. Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam tifoid bergantung prosedur yang digunakan di masing-masing rumah sakit atau laboratorium. Uji  Widal dianggap positif bila titer antibodi 1/160, baik untuk aglutinin O maupun H dengan kriteria diagnostik tunggal atau gabungan. Bila dipakai kriteria tunggal maka aglutinin O lebih bernilai diagnostik daripada aglutinin H (Handojo, I, 1982).
Antibodi (immunoglobulin) adalah sekelompok lipoprotein dalam serum darah dan cairan jaringan pada mamalia. Antibodi memiliki lebih dari satu tempat pengkombinasian antigen. Kebanyakan antibodi makhluk hidup mempunyai 2 tempat pengkombinasian yang disebut bivalen. Beberapa antibodi bivalen dapat membenuk beraneka antibodi yang mempunyai lebih dari 10 tempat pengkombinasian antigen (Volk Wheeler, 1984).
Antigen adalah bahan yang asing untuk badan, terdapat dalam manusia atau organisme multiseluler lain yang dapat menimbulkan pembentukan antibodi terhadapnya dan dengan antibodi itu antigen dapat bereaksi dengan khas. Sifat antigenik dapat ditentukan oleh berat molekulnya. Salmonella dan jenis-jenis lainnya dalam family Enterobacteriaceae mempunyai beberapa jenis antigen, yaitu antigen O (somatik), H (Flagella), K (Kapsul) dan Vi (Virulen) (Volk Wheeler, 1984).
1.      Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer (Baron et al.,1994).
2.      Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam (Baron et al.,1994).
3.      Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier (Baron et al.,1994).
4.      Outer Membrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa (Baron et al.,1994).
Antigen di dalam reaksi aglutinasi dapat berupa sel atau partikel, misalnya partikel lateks yang permukaannya telah diresapi antigen yang dapat larut, ditambahkannya antibodi yang homolog akan menyebabkan terjadinya aglutinasi atau penggumpalan, sehingga menghasilkan agregat kasat mata sel-sel itu, reaksi aglutinasi juga digunakan di dalam penggolongan dan penentuan tipe darah manusia (Pelczar and Chan. 2005).
            Reaksi widal adalah reaksi serum (sero-test) untuk mengetahui ada tidaknya antibodi terhadap Salmonella thypii dengan jalan mereaksikan serum seseorang dengan antigen O, H, dan Vi dari laboratorium. Bila terjadi aglutinasi, maka reaksi widal positif, berarti serum orang tersebut mempunyai antibodi terhadap Salmonella thypii, baik setelah vaksinasi, setelah sembuh dari penyakit tipus ataupun sedang menderita tipus. Reaksi widal negatif artinya tidak memiliki antibodi terhadap Salmonella thypii (tidak terjadi aglutinasi). Berdasarkan hasil pengamatan pada pengenceran 1 : 160 tidak terjadi aglutinasi berarti penderita tidak memiliki antibodi terhadap Salmonella thypii (hasilnya negatif). Jika hasilnya positif terjadi adanya endapan pasir, sedangkan jika hasilnya negatif maka tetap jernih. Adanya aglutinasi menandakan bahwa penderita positif terinfeksi Salmonella thypii yang dapat dilihat Pada serum 20 μl, titer Ab + 1/80 = infeksi ringan (Volk and Wheeler, 1984).




IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A.      Kesimpulan
Uji Widal dirancang secara khusus untuk membantu diagnosis demam typhoid dengan cara mengaglutinasikan basilus typhoid dengan serum penderita. Berdasarkan hasil tes widal pada titer 1 : 80 menujukkan terjadinya aglutinasi, ini menunjukkan bahwa penderita memiliki antibodi terhadap Salmonella thypii atau dengan kata lain mengalami infeksi ringan demam typhoid.

B.       Saran
Praktikan disarankan untuk menggunakan sarung tangan dan masker pada saat praktikum berlangsung yang bertujuan untuk menghindari infeksi dari bakteri Salmonella thypii. Praktikan harus selalu mebiasakan hidup bersih dan sehat agar terhidar dari infeksi bakteri.














DAFTAR REFERENSI
Aziz, Tarique dan S. S. Haque. 2012. Role of Widal Test in the Diagnosis of Typhoid Fever in Context to Other Test. American Journal of Biochemistry 2012, 2 (1): 16-18
Baron, E.J., Peterson, L.R., FinegoId, S.M., 1994, Enterobactericeae. In: Bailey and Scott’s Diagnostic Microbiology. 9th ed. Edsitors: Carson, D.C., et al. The CV Mosby Co. London
David, B.D. Renato. 1990. Microbiology 4th. London : Tippicoll Company.
Flynn, John E. 1966. The New Microbiology. USA : Mc Graw Hill.
Handojo, I., 1982, Kuliah serologi klinik FK Unair Laboratorium  Patologi Kiinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Jawetz, 1966. Microbiologi Kedokteran. Jakarta : Buku Kedokteran.
Karsinah, 1994, Batang negatif gram. Dalam:Staf Pengajar FK UI, penyunting. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta:Bina Rupa Aksara,
Pang, T., Levine, M.M., Ivanoff, B., 1997, In The Third Asia Pacific Symposium on typhoid fever and other Salmonellosis. Bali, Indonesia
Pelczar and Chan. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press.
Staf Pengajar FKUI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Volk, W. A, and Wheeler, M. F. 1984. Mikrobiologi Dasar. Jakarta: Erlangga.
Zmijewski, C. M and Bellanti, J. A. 1993. Imunologi 3. Yogyakarta: UGM Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimah kasih ya atas kunjungan Anda dan atas segala saran dan komentar.